Minggu, 02 Februari 2014

Oka Art Project


            Oka Art Project (OAP) adalah sebuah organisasi seni berbasis proyek dimulai sejak tahun 2011, suatu proyek seni yang digagas atas prakarsa Oka Astawa sebagai ruang penciptaan dan presentasi proses kreatif, yang akan dan telah dijalani oleh perupa muda I Gede Oka Astawa, yang memfokuskan pada membangun jaringan komunikasi kreatif antara seniman muda dan publik seninya. OAP  berkolaborasi dengan lembaga dan institusi seni lainnya untuk menyelenggarakan berbagai macam pameran, publikasi dan forum diskusi. semua kegiatan yang dilakukan guna mempromosikan dan meng-komunikasikan kegiatan dan berbagai macam kecenderungan yang terjadi dalam proses kesenimanan Oka Astawa. Pada awalnya diciptakan sebagai sebuah wadah penyampaian gagasan pribadi Oka Astawa dan telah berkerja sama dengan pelaku seni secara perorangan maupun organisasi-organisasi seni dalam merancang dan menyelenggarakan berbagai macam kegiatan kesenian. Pada tahun 2011 Oka Art Project dimulai dengan pembuatan stensilan diberbagai sudut kota Yogyakata. Pada tahun 2011 Oka Art Project berkerjasama dengan komunitas seni seperti komunitas Tangan Reget (TR), Titik Lenyap (TL), dan Tempat Kencink (TK) untuk membuat karya kolaborasi dalam pameran tunggal "Menjawab Kegelisahan" Oka Astwa. Pada tahun 2012 OAP berkerjasama dengan komunitas Tempat Kencink membuat pameran kolaborasi “Hydro Pirates” di Galang Kangin Art Space Bali yang diikuti oleh anggota komunitas Tempat Kencink dan perupa muda Bali. Ditahun 2012 berkerjasama dengan kurator muda Hendra Himawan mendirikan forum diskusi WASH (Weekly Art Sharing) Yogyakarta, WASH adalah satu forum diskusi, ruang presentasi proses kreatif  perupa muda  Yogyakarta. Kegiatan yang dilakukan oleh WASH adalah pameran mandiri, presentasi karya dan diskusi, dengan mengambil tempat di studio-studio seniman, ruang-ruang kumpul komunitas, kampus-kampus sebagai ruang gerak, untuk mendekatkan proses penciptaan karya seni dengan audiens dan publik seni yang lebih luas. WASH berorientasi kepada pendokumentasian proses kreatif, mengembangkan ruang-ruang diskusi dan proses penciptaan karya baru, serta pembangunan jaringan kerja kesenian atara perupa muda Yogyakarta. Ditahun 2014  Oka Art Project dengan sangat antusias kembali meluncurkan inisiatif  baru yang disebut I+DIALOG+I, sebuah proyek seni yang digagas dalam rangka pameran Tunggal Oka Astawa pada bulan maret 2014 di Taman Budaya Yogyakarta, adapun acara pendukungnya antara lain: -Diskusi Seni dan pemutaran video dokumenter wawancara Oka Astawa dengan seniman Made Wianta, Pande Gede Supada, dan Nyoman Erawan di UPT Galery ISI Yogyakarta. -Diskusi Seni “Jejaring Komunitas” bersama Komunitas Kukomikan, Tangan Reget, Giginyala, dan Perupa Indonesia Timur di Kersan Art Studio Yogyakarta. -Pameran Instalasi dan performing art kolaborasi dengan komunitas-komunitas seni Yogyakarta. -Diskusi Seni “Ketika Orang Bali Merantau”, pembicara Entang Wiharso, Gede Arya Sucitra. S.Sn. M.A. dan Gede Oka Astawa

                    Kegiatan yang dilakukan oleh Oka Art Project dikonstribusikan kepada berbagai macam bentuk kegiatan seni yang dilakukan I Gede Oka Astawa dan membuka diri kepada berbagai pihak untuk berkerja sama.


 Salam Hangat
 I Gede Oka Astawa


I+dialog+I : ‘ apa dan bagai mana seni rupa saya’!

Setiap seniman mempunyai tarikan tersendiri dengan lingkungannya. Sebagai bagian dari masyarakat dengan akar tradisi yang ketat, Oka Astawa tidak dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan norma yang telah dibebankan sejak lahir. Pergulatannya sebagai seniman muda dalam ruang kultural masyarakat asal, menuntunnya pada dua kutub persoalan : antara ‘subjektivitas diri’ dan ‘tuntutan adat’. Tarik menarik keduanya kemudian membawanya dalam persoalan bagaimana menjadi ‘seniman hari ini’.Ketika persoalan sikap mental yang menjadi landasan lahirnya idealism seniman dihadap-hadapkan pada tuntutan sebagai anak tunggal yang harus kembali kedaerah asal untuk menunaikan kewajiban adat.
Pergulatan inilah yang kemudian membawa pemikiran Oka untuk mengkaji apa dan bagaimana sikap mental dari seniman itu seharusnya diasah dan diperjuangkan. Ini memang pertanyaan yang bisa jadi sangat subjektif, namun apa yang ditawarkan oleh Oka sesungguhnya menguji para penatap tentang seberapa penting ideologi yang dimiliki oleh seniman.
Andaikata wacana seni yang bergulir menyatakan bahwa tidak ada karya seni yang tidak politis, dalam arti- ia merupakan bagian dari sistem wacana yang lebih besar, bersifat responsive (kausalitas) dan menjadi satu tawaran perspektif dari sebuah fenomena, dan mempunyai tujuan tertentu, lantas apakah kemudian kita abai dengan ideologi yang melatar belakangi lahirnya ‘seni’ itutadi?
Tentu setiap karya seni tidak semata-mata tercipta karena komposisi desain elementer semata, namun ada nilai-nilai yang diperjuangkan didalamnya.Kontekstualitas menjadi kanon utama dalam seni rupa kontemporer hari ini.Setiap seniman menghadirkan konsep kekaryaannya sebagai bagian dari keberpihakan dirinya atas fenomena yang ada.Setiap bahasa visual yang tercipta, setiap aktivitas seni muncul tentu bukan tanpa substansi ideologi, tersemat nyata ataupun samar-samar, inilah sejatinya yang diperjuangkan oleh setiap seniman, jauh melampaui eksistensi atau keterbutuhan materi.
Hal inilah yang setidaknya menjadi lontaran dialog yang ingin sampaikan oleh Oka Astawa melalui aktivitas seninya : OKA ART PROJECT 2014.  Mencari ‘diri’ sekiranya adalah kata kunci yang dapat menuntun setiap individu yang terlibat dalam project ini, untuk terus bertanya pada diri, melakukan otokritik dan mungkin koreksi atas definisi ‘ apa dan bagaimana seni rupa saya’!

Hendra Himawan
Kurator


Rangkaian Acara Pendukung


Pemutara Video Holiday Art Sharing

    Pada saat liburan semester pada bulan juli 2013 yang lalu saya berinisiatif untuk berkunjung ke rumah atau studio-studio seniman senior di Bali sekedar sharing pengalaman mereka pada saat masih muda sampai sekarang dan kesempatan untuk bersilahturahmi serta membangun relasi. Dari obrolan tersebut saya banyak mendapatkan motivasi dan inspirasi bagaimana membangun sikap mental berkesenian yang baik.Saya sadar betul bahwa obrolan ini atau informasi yang saya dapatkan dari seniman-seniman senior ini sangat bermanfaat bagi saya dan perupa muda lainnya untuk menempa sikap mental kesenimanan kami perupa muda.Saya berinisiatif untuk mendokumentasikan setiap obrolan kami dalam bentuk video dokumentasi.

    Pada tanggal 21 Oktober 2013 saya memutarkan video dokumentasi obrolan saya dengan tiga seniman Bali yaitu Made Wianta, Pande Gede Supada, dan Nyoman Erawan di galeri kampus ISI Yogyakarta dengan harapan perupa muda lainnya mendapatkan inspirasi juga dari obrolan kami tersebut. Selain pemutaran video dokumentasi, ada acara diskusi dengan menghadirkan Made Toris Mahendra sebagai pembicara. Ini merupakan sebuah acara dialog untuk menambah pengetahuan dan membangun sikap mental untuk para perupa muda, walaupun sederhana namun memberikan banyak manfaat bagi saya dan temen-temen perupa muda lainnya.     


 Diskusi Seni “Jejaring Komunitas”
     Dalam rangkaian program pameran tunggal saya pada maret 2014, Oka Art Project sangat antusias meluncurkan inisiatif yaitu program sharing komunitas. Diskusi ini akan mengeksplorasi pergaulan antar komunitas perupa-perupa muda Yogyakarta dengan mengajak komunitas-komunitas seni untuk sharing proses kesenian yang sudah maupun yang akan dilakukan oleh masing-masing komunitas kepada publik sebagai proyeksi pada praktik seni para perupa muda serta hubungan jaringan yang ada dan kekuatan komunitas-komunitas seni. Melalui inisiatif ini, saya berharap audiens yang lebih luas akan memiliki kesempatan melihat atau mendengarkan langsung keragaman praktik kreatif yang ada dan cara dimana perupa-perupa muda ini menggunakan ruang komunitas mereka untuk mendefinisikan visi kesenian, membangun komunikasi dan bernegosiasi dengan dunia luar. Saya rasa saat ini sangat minimnya ruang atau acara-acara sharing seperti ini, mempertemukan berbagai komunitas dari kampus yang berbeda.Di sini saya mencoba untuk mewadahi komunitas-komunitas perupa muda untuk berbagi inpormasi dan pengalaman mereka kepada publik yang lebih luas, selain itu project ini juga untuk membangun komunikasi serta membuka kemungkinan-kemungkinan kerjasama seni antar komunitas perupa muda Yogyakarta.
























                                                                    Pameran Instalasi dan Performing Art 
     Melalui pameran instalasi, open studio, performing art dan sharing ini publik akan melihat lebih dekat lagi fungsi studio saya, mulai dengan karya-karya yang belum jadi sampai dengan tempat kerja saya yang akan dihadirkan di ruang galeri. Studio seniman bukan hanya sebagai tempat kerja, tetapi juga sebagai tempat untuk negosiasi budaya, tempat untuk bergabung dengan teman untuk mengatur kegiatan seni. Maka oleh karena itu selama pameran berlangsung saya akan tinggal atau melakukan aktivitas seperti hari-hari biasanya di ruang galeri. Di sini publik akan menemukan akar komunitas seni dan mampu melihat praktik kreatif saya secara keseluruhan. Biasanya open studio dilakukan memang di studio pribadi seniman, tapi dalam pameran instalasi ini saya senggaja memindahkan studio saya ke ruang publik yaitu galeri, untuk membangun keterbukaan komunikasi saya dengan penikmat seni atau publik luas.  

Pameran instalasi dan Performing Art



















    Diskusi Seni "Ketika Orang Bali Merantau" 



      Kolaborasi Dengan Komunitas-Komunitas Perupa Muda

        Saya dilahirkan di dalam lingkungan sosial yang kuat, sebagai bagian dari masyarakat dengan akar tradisi yang ketat dan saya tidak dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan norma yang telah dibebenkan sejak lahir. Dari sejak kecil, pada saat saya masih duduk di Taman Kanak-kanak (TK) saya sudah menjadi bagian kelompok atau organisasi tari  dan gambelan Bali serta organisasi kesenian-kesenian lainnya di Desa saya, pada beranjak remaja saya jadi pengurus organisasi pemuda dengan kegiatan-kegiatan sosial, kesenian, keagamaan dan olah raga. Jadi saya sudah tidak asing lagi dengan gerak organisasi. Organisai-organisasi kesenian yang saya ikuti itu masih hanya terbatas untuk melestarikan tradisi dan budaya Bali serta menjalin keakraban dan kebersamaan antar generasi muda di lingkungan desa saya.
          Pengalaman saya dengan gerak organisasi masa kecil sampai remaja  di Bali tentulah belum cukup untuk melatih kepekaan sosial saya terhadap masalah dan fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, maka melalui Oka Art Project 2014 ini saya kembali untuk melibatkan banyak komunitas berkerja bersama dan berkolaborasi mencipta karya. Hal ini menarik karena diikuti komunitas-komunitas dari lintas jurusan dan lintas kampus. Di sini publik bisa melihat bagaimana negosiasi-negosiasi gagasan bertemu, serta melihat metode dan mekanisme kerja kreatif saya dengan komunitas-komunitas tersebut.    

    Tujuan
         Kecakapan sosial harus dimiliki oleh para seniman muda, sebab dengan kecakapan ini kita mampu mempresentasikan proses kreatif yang telah kita jalani kepada publik seni rupa yang lebih luas dan agar saya mempunyai kepekaan sosial terhadap lingkungan dan menangkap fenomena kesenian yang menjadi ideologi dari masing-masing komunitas yang saya ajak kerjasama. Untuk menjadi seniman hari ini, kita para seniman muda harus mampu memposisikan diri dalam jejaring sosial seni rupa secara optimal. Saya merasa perlu untuk kolaborasi lagi dengan komunitas-komunitas seni, sebab saya ingin terus melatih sikap untuk terbuka dan sikap untuk mampu berkerjasama dengan orang lain seluas-luasnya. Dengan kolaborasi ini  saya berharap menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, baik kemampuan teknis, kemampuan konseptual, maupun memperkuat ideologi kesenimanan saya. 






          Menari di Atas Api*: Oka Sosial, Oka Api
    Kita lambangkan saja api adalah penanda gairah, ia adalah simbol dari apa saja yang membuat orang berkehendak hidup, memiliki hasrat. Dari seluruh karya yang dipamerkan ini saya menaruh perhatian pada ‘Menari di atas Api(Dancing on Fire)’. Karya itu seolah melambangkan situasi psikologis Oka dalam memandang hubungan dirinya dengan ideologi masyarakatnya. Dapat dikatakan Oka saat ini tengah membicarakan hubungan ‘id’ dengan ‘superego’ dalam kamus psikoanalisa: dimana ‘id’ (keinginan) asimetris dengan kekuatan eksternal yang merepresi gairah;hasrat. Apa menariknya dari isu yang diketengahkan Oka melalui pameran tunggal ketiganya ini? Bukankah wacana represi sudah banyak diungkapkan oleh perupa? Mengapa kemudian Oka menghadirkan metafora api yang menari? Menari diatas gairah;hasrat? Apa maksudnya?

    Apabila kita membuka lagi sejumlah katalog-katalog pameran seni rupa, tema pameran dengan wacana represi berkali-kali muncul. Wacana represi selalu muncul dengan berbagai bentuk dan artikulasinya. Sebuah wacana yang mencoba untuk memproblematisir rezim dengan berbagai bentuk dan teknik represinya. Dari rezim yang material bentuknya hingga immaterial, dari kekuatan sosial-budaya(simbolis) hingga kekuatan yang sifatnya koersif(fisik). Terdapat banyak cara memahami mengenai hubungan subjek dengan kondisi objektif diluar dirinya yang dikembangkan oleh ilmu sosial-humaniora, terutama dalam kaitannya dengan kesadaran subjek. Ada yang beranggapan subjek menjadi patuh 100 persen, dalam arti subjek menjadi sekadar fungsi dari sebuah bentuk ideologi. Ada pula yang keberatan dengan asumsi itu, bahwa orang masih punya celah untuk melalukan tawar-menawar, atau dalam bahasa Oka: negosiasi.

    Oka sosial adalah Oka yang kita kenal, saat ini ia sedang menempuh studi di Progam Studi Seni Lukis, jurusan Seni Murni, FSR ISI Yogyakarta. Anak muda pendiam kelahiran Tabanan, Bali ini rupanya sangat aktif berorganisasi, bahkan beberapa kali menjadi ketua. Maka jangan menilai orang dari sekadar penampilannya saja, Oka adalah contoh; satu dari teramat sedikitnya perupa Bali yang gemar berorganisasi. Oka sadar bahwa belajar dikelas berbeda dengan dilapangan sosial. Didalam organisasi seseorang akan mengetahui dimana posisi fungsionalnya dalam struktur organisasi. Oka sepanjang saya mengenalnya bahkan sempat menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Hindu ISI Yogyakarta. Salah satu fungsi organisasi membuka celah jejaring sosial, dari situ Oka kemudian mengenal tokoh-tokoh perupa, hingga berbagai komunitas seni-budaya yang hidup di Yogyakarta. Interaksi Oka dengan berbagai orang dan komunitas ini menjadikan Oka memperoleh identitas sosial yang plus. Ia tidak saja sekadar mahasiswa seni lukis semata, tetapi Oka menjadi sosok yang dikenal menggandrungi kegiatan lintas disipliner, terutama melalui forum alternatif WASH (Weekly Art Sharing) bersama kurator dan peneliti independen, Hendra Himawan. Minat Oka ini yang saya yakini dan saya harapkan dapat memperluas dan memperkaya pengalamannya. Kita tahu bahwa kedalaman pengalaman inilah yang menentukan baik dan segarnya suatu hasil karya, tidak sekadar mereproduksi stereotipe, atau pengetahuan siap pakai.

    Oka merawat tradisi menimba ilmu yang baik, dalam arti Oka aktif dan rajin bertandang dan menimba ilmu dari para seniornya. Saya terkesan dengan usaha membagi hasil dialognya dengan tokoh senior Made Wianta, Pande Gede Supada dan Nyoman Erawan. Oka juga aktif pula berdialog dengan perupa Entang Wiharso, dan beberapa kali membuat kegiatan projek berbasis riset bersama Antena Project. Apabila dicermati, ada kebutuhan keilmuan yang dicari Oka, terutama pada pokok atau perihal tubuh. Bagaimana tubuh diimajinasikan, tubuh dialami dan tubuh diperagakan melalui berbagai bentuk dan teknik, kurang lebih itu pertanyaan-pertanyaan personal Oka. Dari situ Oka mencari jawaban akan makna kebebasan. Dalam kaitannya dengan hubungan makna kebebasan dengan tubuh adat, kita seperti diingatkan oleh praktik kesenian I Gusti Nyoman lempad, ia sosok legendaris yang justru dapat mendapatkan subyektifitasnya melalui praktik sublimasinya dengan adat. Ini menarik. Saya kira Oka dapat menimba dari apa yang ditempuh dari kiprah Lempad dalam masa berkeseniannya.

    Pada akhirnya, api. Gelora hasrat; gairah. Simbol sumur gagasan. Pada saat ini Oka tengah mengeksplorasi dua alam kesadaran, api hasrat dalam dirinya dengan aku-sosialnya. Kita apresiasi bagaimana semuanya itu dinegosiasikan atau disublimasi oleh Oka melalui penguasan teknisnya saat ini dan subjek matter yang ditampilkan.

    Yogyakarta, 18 Februari 2014

    Sudjud Dartanto, staf pengajar FSR ISI Yogyakarta




          I+dialog+i : Jalan meraba ‘ideologi’
    Sebuah petikan pembacaan oleh. Hendra Himawan*

    Kalo boleh kami katakan, perhelatan Oka Art Project 2014 ini adalah satu upaya untuk mendefinisikan diri. Sebab, tanpa definisi kita tidak akan pernah sampai pada sebuah konsep (kesenian, kesenimanan). I+Dialog+I, boleh dibaca sebagai ‘aku berdialog dengan aku’ (sebuah solilokui), ataupun secara serampang lidah : ‘ideologi’. Inilah sekumpulan gagasan, pemikiran yang diupayakan Oka Astawa se-objektif mungkin untuk melihat dinamika persoalan yang melingkupinya. Ideologi adalah sejumput gagasan yang memang secara komprehensif dapat digunakan untuk melihat segala sesuatu. Yang secara etimologis, boleh dimaknai sebagai dialektika tentang asal usul, hakikat ide, dan gagasan.
    Kesenian seringkali bersinggungan dengan ideologi dan wacana besar sosial dan politik. Entah sosialis-komunis, liberal-kapitalis, atau apapun itu. Dan dalam perhelatan ini kami lebih tertarik untuk menengok ‘ideologi seni’ itu sendiri. Meminjam istilah Sanento Yuliman, 'ideologi seni' lahir sebagai reaksi alternatif ketika kepercayaan pola otoritas seni menaruh harapan yang besar pada keberadaan representasi persoalan sosial dan politik dalam ekspresi seni. Dimana hal ini telah mewarnai sepanjang sejarah seni rupa modern Indonesia. Bahkan ketika seni rupa kontemporer yang bersemangat easy going berharap mampu melepaskan diri dari beban-beban ideologis, senyatanya kepayahan. Jauh lebih vulgar dan bertambah lebih parah. Gagasan ‘pembebasan’ semenjak modernisme hingga posmo yang berupaya melucuti aspek politis dan sosial dari seni telah gagal. Praktek 'ideologi non ideologi' dan upaya-upaya 'depolitisasi seni' berbalik arah menjadi langkah 'politisasi'seni itu sendiri. Kita memupuk keyakinan yang besar pada kapasitas mobilisasi seni sebagai interpretasi kebebasan individu secara maksimal ditengah masyarakat yang semakin hanyut dalam beragam budaya massa. Seni menjadi satu bidang praktik dan teoretik yang khas dan khusus. Sementara persoalan yang sering terjadi dalam praktik ini adalah : bagaimana sebuah 'ideologi' mampu bermakna bagi setiap orang? Bagi tiap tiap orang yang hendak disebut sebagai 'masyarakat'? Kami memahami bahwa hal ini sangat pelik, maknanya, kami berupaya bahwa ‘ideologi seni’ hari ini harus mau untuk dinegasi, di negosiasi, dan bersifat dialogis. Bahwa persoalan citarasa estetik, pilihan artistik itu adalah wilayah personal, komunikasi menjadi pertimbangan utama dalam presentasi kepada khalayak. ‘Ideologi seni’ harus cair, lentur dan mampu lebur dengan tujuan gerakan kebudayaan yang lebih luas.
    Tradisi sebagai Latar
    Tradisi dan adat memang menjadi pangkal dari gagasan project Oka Astawa kali ini. Latar belakang kultur Bali yang mengikatnya kuat, menuntutnya untuk bersikap. Negosiasi atas 'hukum banjar' yang menyuruhnya pulang dijadikannya sarana untuk mengulik mental dan pola pikirnya sebagai bagian dari kaum rantau. Membaca dan menyisir tatanan daerah asal, bertanya pada para orang tua dan perupa seniornya, mencari tahu apa yang harus dilakukannya ketika pulang, menjaring peluang atas pilihan hidup, adalah sekian latar yang mendasari penciptaan karyanya. Pertanyaan dan kerja kerasnya mencari jawabanini, kemudian kami maknai sebagai upaya untuk memperbincangkan peluang dan sisi positif dari sekedar keluh kesah melawan tatanan. Ia menuntun Oka Astawa untuk mempelajari tentang 'rumahnya'.
    Tradisi, kami kira adalah satu hal yang sangat penting untuk diulik kembali, dikaji ulang, ditengah gemuruh perbincangan identitas yang tak pernah selesai. Kembali kritis melihat tradisi adalah satu dari sekian jalan untuk menemu kesimbangan pemahaman dari pikiran poskolonal yang cenderung melihat eksotika etnis, atau gemuruh perlawanan lokal yang menjebak. Menengok tradisi, memaknai dan memunculkannya saya kira menjadi satu celah untuk membangun jembatan antara perasaan dan pertanyaan akan pusat dan peripheral.
    Rekam : Proses demi proses
    Memahami bahwa persoalan ideologi adalah juga persoalan dialektis, dan mempunyai kerangka motif yang terstruktur, maka dalam projek seni ini Oka Astawa membagi tema besar pencariannya ke dalam beragam sub kegiatan. Dikerjakan hampir 7 bulan ini, beragam aktivitas dilakukandiantaranya berupa kajian kecil, wawancara dan sharing dengan para perupa, disambung dengan kerja kerja kolaborasi untuk membangun komunikasi dan sharing pengalaman.
    1. Mengawali dengan kajian kecil, Oka Astawa melakukan wawancara atas pengalaman dan praktek kesenian para perupa senior yang telah lama menetap dan berkarya di Bali. Kegiatan ini berpijak pada asumsi dasar ketidaktahuan akan bagaimana menjalani proses kesenimanan di wilayah dengan tatanan norma adat yang ketat mengikat, kolektivitas yang kental, dan ritual agama yang tiada henti. Menemui Nyoman Erawan, Made Wianta dan Pande Gede Supada, ia menimbang pengalaman kreatif mereka sebagai seniman.
    Ketiga seniman dalam video wawancara yang didokumentasikannya seolah menyatakan pandangan yang sama bahwa hidup berkesenian di Bali adalah negosiasi atas ego diri dan ego komunal masyarakat. Meski kental dengan ragam praktek kekaryaan, seniman yang ada di Bali harus menabung kerelaan dirinya menghabiskan sekian waktu untuk banjar, sementara kerja-kerja studio bolah dikatakan sangat kurang. Namun dimensi yang menarik ditawarkan oleh Made Wianta bahwa dalam kondisi apapun setiap seniman harus mampu memaknai apa yang terjadi dihadapannya, sebagai firasat dan keyakinan bahwa estetika adalah ilmu tertinggi yang menghububgkan manusia dengan Tuhannya. Kami kira inikah catatan penting dari kegiatan yang dilangsungkannya dibulan Juli-Agustus 2013 lepas.
    Menemui ke 3 seniman disebagai 'narasumber' memang sangat menarik untuk melihat dan mendengar bagaimana perjalanan kreatif seniman semestinya dilakukan di Bali, beragam proses kreatif seyogyanya akan dijumpai Oka Astawa. Sebab bukan semata bagaimana menjalani kesenian di rumah sendiri, akan tetapi bagaimana pola kesenian, ideologi, strategi mobilisasi seninya, dan negosiasi2 dengan adat itu yang merumuskan strategi dan model kesenian yang akan di tempuhnya.

    2. Presentasi dokumentasi hasil kajian juga dilakukan oleh Oka Astawa sebagai satu upaya untuk berbagi pemahaman bersama dengan kawan-kawan. Bersama WASH Yogyakarta, beberapa data dan kajian yang diperolehnya selama proses wawancara kemudian di hadirkan dan didiskusikan dengan mengundang kawan kawan muda dan perupa Bali yang tinggal di Jogjakarta. Mengundang I Made Toris Mahendra, forum ini menjadi satu jalan untuk menemu perspektif bandingan atas praktek berkesenian para seniman di Bali dan di tanah rantau. Melihat dua pandangan tentang persoalan posisi dan letak geografis, mau tidak mau menuntut untuk bersiasat. Lain ladang lain belalang, setiap ruang menghadirkan peluang, model adaptasi, negosiasi dan konsekuensi konsekuensi logis tersendiri.

    3. Kerja kolaborasi merupakan salah satu cara yang menarik untuk membangun pemahaman tentang bagaimana komunikasi seni dan praktek praktek kerja komunal dilakukan. Upaya untuk membagi gagasan, saling bertukar tangkap pemahaman maupun kerja kerja praksis, sehingga kerja kolaborasi ini bukanlah sekedar riuh gotong royong atau saling merespon kecenderungan visual yang selama ini sering berlaku di kalangan perupa muda. Diskusi dan meramu gagasan diupayakan Oka Astawa dengan menggelar diskusi dan presentasi komunitas di Kersan Art Space, pertengahan Januari 2014. Ada 4 komunitas yang dirangkul untuk kerja kolaborasi, yakni Komunitas Gigi Nyala, Komunitas Perupa Indonesia Timur, Komunitas Grafis Tangan Reget, dan Komunitas Kukomikan.

    Gigi Nyala adalah komunitas yang progresif dalam penyelenggaraan event pameran khas anak muda : pameran sketchbook, drawing, watercolour dan sebagainya. Satu komunitas yang berfokus pada 'keterbukaan ruang bagi siapa saja, khusunya perupa muda untuk berekspresi dan berapresiasi', tanpa membatasi kecenderungan estetik atau ideologi apapun. Independent, adalah satu kata yang menjadi platform mereka hari ini. Gagasan yang dilontarkan Oka Astawa, mereka tangkap sebagai sebuah proses dialektika dan kreativitas yang berkesinambungan. Meminjam filosofi angka’8’ sebagai simbol garis yang tiada putus, Gigi Nyala menangkapnya dengan mencipta karya instalasi. Kolaborasi dari gagasan hingga eksekusi karya mereka lakukan untuk menemu ruang dialog atas keterbukaan pemahaman tenatng apa itu proses kreatif dalam menempuh jalan berkesenian. Bahwa kemudian proses yang berkesinambungan itu akan menciptakan lontaran-lontaran pemikiran, hendaklah ia dapat dipersembahkan dalam ‘cangkir-cangkir’ karya bagi setiap penikmatnya. Karya instalasi yang bereka buat sekaligus menjadi satu simbol bahwa setiap pemikiran yang terlontar harus mampu dikomunikasikan, didiskusikan. Ideologi tidaklah tertutup, ideologi itu dialogis.

    Komunitas Tangan Reget adalah komunitas grafis mahasiswa ISI Yogyakarta yang aktif dalam ekplorasi kerja seni grafis dari masing-masing individunya, sementara komunitas lebih berfungsi sebagai ruang sosialisasi dan wadah kerja-kerja komunal. Beragam aktivitas diluar grafis pun sudah mereka lakukan, seperti mural hingga flashmob performance di ruang-ruang publik. Eksperimentasi secara komunal yang selalu dilakukan menjadi media yang menarik bagi pengembangan individu di dalamnya. Mengangkat pola-pola tari kecak menggunakan medium spon, mereka merespon karya Oka Astawa, mereka berusaha untuk memahami bagaimana ikatan tradisi itu harus dilihat secara lentur, luwes. Setiap tatanan yang ketat harus dilihat sebagai sebuah gerak komposisi yang dinamis, berpijak pada keyakinan akan kebenaran dan kepercayaan bahwa ikatan komunal adalah kunci dari dinamika hidup masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sujud Dartanto (kurator senior) dalam tulisannya di katalog pameran ini.

    Komunitas Perupa Indonesia Timur adalah komunitas perupa muda yang intens dengan tema tema akar tradisi mereka. Wilayah Indonesia timur yang eksotik dan penuh keragaman etnik, sering kali ditinggal, terlewatkan dalam pembicaraan di bidang apapun, pembangunan yang sengaja tidak merata, namun diam-diam dicuri potensi alamnya oleh penguasa. Perjuangan untuk menunjukkan eksistensi keberadaan 'timur' di wikayah 'barat' , menjadi satu momen yang menarik bahwa sampai saat ini mau tidak mau kita masih menanam dikotomi pusat dan peripheral dengan ketat, meski kita sampai detik ini sudah yakin 'menolaknya'. Menggali tradisi, adalah kata kunci dari kawan kawan komunitas perupa ini. Mengangkat potensi lokal yang kaya dengan dimensi spiritual, menjalinnya dalam kolektivitas komunal, sehingga masing masing individu mempunyai ruang memahami diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Menghadirkan karya tugu penyembahan kepada Dewa Langit dan Dewi Bumi ‘Labunara’ dari Flores Timur, lengkap dengan sesaji dan performance tarian dari Ambon, mereka memadukan simbol-simbol spiritual sebagai karya seni. Hal ini tentu sangat menarik sebab pada akhirnya sebagai representasi diri, sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari latar belakang kultur asal perupanya. Bahwa hal itu dipadupadankan dengan kondisi kekinian, adalah persoalan celah komunikasi saja yang perlu untuk dibangun.

    Kukomikan, tidak ada kaum muda pecinta seni rupa Yogyakarta yang tidak mengenal gerak cepat komunitas yang bermarkas di Wonosari Gunung Kidul ini. Aktif dalam gerakan mural dan street art, Kukomikan menggelar beberapa project seni partisipatoris dengan melibatkan komunitas masyarakat di daerah pinggiran pantai selatan. Di Yogyakarta mereka juga aktif mensupport isu-isu gerakan muda yang berbicara tentang kota dan ruang publiknya. Menghadirkankan karya dua dimensi yang kental dengan spontanitas, mereka menyatukan lontaran gagasan Oka Astawa dengan ‘kebiasaan’ praktek kerja yang selama ini mereka lakukan. Kami kira ini adalah satu model penciptaan karya yang menarik, ketika bertemu dua praktik kecenderungan karya yang berbeda : studio dan individual + outdoor dan komunal. Dialog proses kreatif diantara mereka, menjadi pertemuan ‘ideologi’ penciptaan karya yang menarik.
    Melihat komposisi masing masing komunitas, kami kira Oka dapat menemu banyak pemahaman berkaitan dengan ideologi yang diusung, pola kerja komunitas, hingga bagaimana projek kolaborasi ini dapat dilakukan. Dalam kerangka ini sharing idea berlaku, ia memberikan peluang untuk lontaran idea nya ditafsir dan dimaknai ulang melalui praktek kerja yang biasanya di lakukan oleh kawan kawan komunitas. Mencari ‘diri’ sekiranya adalah kata kunci yang dapat menuntun setiap individu yang terlibat dalam project ini, untuk terus bertanya pada diri, melakukan otokritik dan mungkin koreksi atas definisi ‘ apa dan bagaimana seni rupa saya’!
    4. ‘Open studio’ adalah satu gagasan yang menarik ketika proses negosiasi dan kolaborasi antara Oka Astawa dan keempat komunitas ini dikomunikasikan secara langsung kepada publik. Bagaimana antusiasme dialog yang terjadi, interaksi idea antara keduanya, dan interaksi praksis antara seniman dengan publiknya berlangsung. Saya kira ini adalah tawaran yang menarik untuk mendokumentasikan proses kreatif ini secara live dan performatif. Bahwa kritik yang terlontar dari audiens jika kerja kolaborasi ini masih terbelah belah, belum utuh menjadi satu, kami kira ini menjadi catatan khusus untuk merumuskan kembali bagaimana format dan model komunikasi dalam kerja-kerja komunal. Pertemuan antara ‘yang individual’ dan ‘yang komunal’ saya kira menjadi celah yang menarik untuk dibicarakan lebih mendalam. Dialektika berfikir seperti apakah yang kemudian mampu dijalani dan dipresentasikan kepada publik. Sejauh apa tawaran yang diberikannya dalam projek ini, sebagai audiens kita belajar memahami bahwa begitu beragam praktek kesenian yang kita lakukan, dan mustahil untuk merangkumnya menjadi satu. Negosiasi tataran ide, metode kekaryaan, hingga seberapa besar porsi kerja kolaborasi ini, kami kira rekan-rekan komunitaslah yang mempunyai hak untuk menilainya, sebab presentasi ini merupakan kerja bersama 4 komunitas, sementara Oka Astawa berada dalam wilayah penyambung benang merah atas keragaman-keragaman yang muncul.

    5. Untuk membuka ruang evaluasi dan pembelajaran yang lebih kritis, dihujung rangkaian kegiatan Oka Art Project 2014 ini, kami mengundang perupa senior Entang Wiharso (perupa) Christine Cocca (Antena Project), dan I Gede Arya Sucitra (Dosen ISI Yogyakarta dan Ketua SDI Yogyakarta). Dalam diskusi intens yang digelar di Kersan Art Space, Arya Sucitra memaparkan bagaimana pola kultur dan adat diBali yang dibebankan pada individu individu masyarakatnya sendiri berkaitan dengan tuntunan norma dan tuntutatn adat yang mengikat. Selain itu dia juga memaparkan bagaimana prakek-praktek kesenian yang lakukan oleh para perupa Bali, lulusan Yogyakarta, di daerah asalnya. Bagaimana strategi membangun jaringan dan tarik ukur antara menjalani kesenian dengan kewajiban-kewajiban banjar. Sementara Entang Wiharso memaparkan bahwa tidak ada dikotomi antara pusat dan daerah, berikut bagaimana harusnya praktek kesenian ini dijalankan oleh individu perseorangan berdasarkan pada pengalamannya.
    Sementara Christine Cocca melihat bahwa upaya upaya project seni yang telah dilakukan oleh Oka Astawa, setidaknya memberikan gambaran akan pentingnya kerja kerja komunal sebagai model berkesenian hari ini. Pelibatan komunitas menjadi penting sebagai ruang eksperimentasi gagasan, komunikasi estetik, dan perayaan artistik yang tetap disesuaikan dengan 'core' utama konsep yang diusung.
    Dari ketiga narasumber, dapatlah difahami bahwa project ini sebetulnya merupakan satu kesinambungan utuh dari konsepsi dasar Oka Astawa sebagai bagian dari masyarakat tradis yang diikat oleh 3 karakter khasnya : kolektivitas, spiritualitas, dan upaya upaya untuk 'memanusiakan manusia' (kamanungsan, humanisme).
    Hal inilah yang kemudian kita bisa merasakannya dalam karya-karya dua dimensi Oka Astawa. Dalam lukisannya ia berbicara tentang ambiguitas posisi diri diantara dua jalan hidup, upaya untuk melepaskan diri dari ikatan sekaligus terbentur realitas. Sebagian kegamangan, sebagian kemarahan. Lebur! Simbol bara api kami kira menjadi menjadi simbol dari kekalutan, disamping gairah hidupnya yang memang meletup-letup. Eksistensi diri yang terus menuntut untuk diperjuangkan. Berpijak dari ketiga ikatan khas masyarakat tradisi itu, Oka Astawa melakukan negosiasi. Bukan semata pada poin-poin norma hukum adat, lebih jauh lagi, negosiasi antara ‘aku’ dan ‘gerak kebudayaan’ yang lebih luas.
    Dari ‘aku’ pada ‘mimpi gerak Kebudayaan’
    'Ideologi seni' yang ingin terus dicari melalui project seni ini, lahir sebagai reaksi atas persoalan personal (ke’aku’an) Oka Astawa yang berkaitan dengan latar kultural yang ketat, pilihan hidup di dunia seni rupa yang penuh tantangan, hingga beragam tanggungjawab dari keduanya yang menuntut untuk dipenuhi. Sesederhana itu awalnya. Itikad yang berpijak pada satu pemikiran mendasar yang tidak disandarkan pada pemikiran-pemikiran yang lainnya.
    Kami menyadari bahwa pada akhirnya seni rupa bukan sekedar ruang ungkap estetik dan ekspresi artistik personal semata, studio bukanlah kantor yang hanya sibuk dengan kreativitas. Kami, dan rekan-rekan perupa muda yang terlibat dalam project ini sadar bahwa sudah saatnya berfikir sebagai subjek yang terobsesi pada gerakan kebudayaan. Untuk itulah ‘ideologi’ menjadi sangat penting : sebuah landskap gagasan dan orientasi-orientasi nilai penciptaan karya.
    ‘Ideologi seni’ yang kami fahami sebagai sebuah struktur visi, sangatlah berkaitan dengan beragam hal. Pertama adalah motif penciptaan karya (untuk apa dan untuk siapa karya ini diciptakan), kedua adalah metodologi (bagaimana karya itu diciptakan), ketiga fungsi karya tersebut dalam konstelasi sosial-politik-kebudayaan, dan keempat adalah cita cita apa yang ingin di raih dan 'dunia ideal' apa yang hendak diwujudkannya.
    Hal ini mungkin terkesan sangat muluk dan merupakan sebuah obsesi yang besar, yang tidak mungkin dijawab dengan kerja perseorangan. Sebab, selain tidak bisa dilakukan secara soliter, ia memerlukan kerja kolaborasi yang konsisten, terus menerus diupayakan. Upaya ini harus terus diraba, dicoba, dan dikritisi ulang, terus menerus, karena pilihan hidup di jalur kesenian sendiri saja bukan satu hal yang mudah.
    ‘Ideologi’ disini difahami bahwa karya seni bukan sekedar hasil kerajinan tangan para perupa. Kolaborasi bukan sekedar kerja bareng ‘urun’ karya, dan pameran bukan sekedar prestise dari sebuah pencapaian estetik artistik atas kepentingan sebuah project belaka. Melainkan pencapaian 'ideal' kesenian melalui eksplorasi estetik, sosial, dan kultural yang dilakukan oleh para perupanya. Melakukan studi atau riset sosial untuk memahami persoalan (konten, tema, pesan), sebelum akhirnya memasuki dunia pengolahan simbol dan dihadirkan dalam entitas presentasi karya.
    Kami meyakini bahwa jalan estetik tidaklah semata mata memenuhi hasrat seni semata, namun bagaimana masing masing subjek mampu mengambil bagian dari 'pergerakan kebudayaan' ini. Membongkar arus besar gagasan, pemahaman dan nilai mapan praktik kebudayaan. Terus melihat secara kritis, dan introspeksi diri sebanyak mungkin untuk menuntut fleksibilitas praktek kesenian, melakukan subversif kreatif atas tatanan praktek seni yang umum, atau yang sering dikatakan oleh Umar Kayam sebagai involutif.
    Apakah Oka Astawa telah sampai pada tataran ini? Belum atau tidaknya tidaklah dapat dijadikan tolak ukur sekarang, namun sub project yang dilakukannya setidaknya mampu memberikan gambaran bahwa ‘ideologi seni’ harus terus dicari, diperjuangkan, dengan keterbukaan atas negosiasi-negosiasi dialogis dengan rekan rekan (individu maupun komunitas) yang terlibat dalam project ini, ataupun kita 'masyarakat' penatapnya.

    *kurator


    Kabar-Kabar
    1.http://jogjanews.com/perupa-muda-bali-ini-bersiap-pameran--tunggal-idialogi-apa-dan-bagaimana-seni-rupa-saya
    2.http://jogjanews.com/proses-berkarya-pameran-instalasi-performing-art-oka-art-project-2014-di-kersan-art-studio-
    3.http://rrijogja.co.id/headline-news/5016-pameran-tunggal-i-gede-oka-astawa-bertajuk-1-dialog-1-di-taman-budaya-yogyakarta?fb_action_ids=620047658050166&
    4.http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Frrijogja.co.id%2Fnasional%2Fseni-dan-budaya%2F5090-pameran-tunggal-i-gede-oka-astawa-di-taman-budaya-yogyakarta&h=NAQEAIEQtAQGwi35_m0NQsNQFPsHSOZaNj0JGytNkkM8lLw&enc=AZOtt8kF9WwDrQACyAMhgTuYAGg8FP4DKA7D-EHEeivR9KkziCxoYLtW54mZ-HyMge0DliLxrf6f-j6jpNXlRSTM&s=1
    5.http://jogja.tribunnews.com/2014/02/21/seniman-bali-oka-astawa-bakal-gelar-pameran-di-yogya/
    6.http://www.ketjilbergerak.org/okaartproject-2014-ketika-seni-dan-ideologi-berkolaborasi/
    7.http://koran.tempo.co/konten/2014/02/28/335989/Benang-Oka-Bersanding-Cangkir-Kopi
    8.http://koranopini.com/ragam/seni/item/203-pameran-tunggal-i-gede-oka-astawa-i-dialog-i.html
    9.http://www.timlo.net/agenda/pameran-tunggal-i-gede-oka-astawa-idialogi-apa-dan-bagaimana-seni-rupa-saya/
    10.http://kisahpagi.blogspot.com/2014/03/i-gede-oka-astawa-pameran-tunggal.html

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar